Kamis, 29 Desember 2011

Tulisan Bab 9 Tokoh Agama Harus Jaga Keharmonisan Umat

Tugas tokoh agama memang sangat berat karena mengemban amanat untuk membina umat agar selalu berbuat baik kepada siapapun, tanpa meninggalkan ajaran agama masing-masing. Berbuat baik belum tentu bisa diterima dengan baik, namun semua itu kalau didasari niat yang baik tentunya akan membawa kebaikan antar umat.

Oleh karena itu, tokoh agama tidak boleh memihak salah satu partai politik atau golongan manapun, kecuali untuk kebaikan dan di jalan Tuhan. Kalau tokoh agama sudah memihak dan berpolitik sudah pasti umatnya akan terlantar. Kalau umat terlantar, maka akan banyak terjadi konflik antar masyarakat, dan tidak kekerasan terjadi dimana-mana. Padahal kekerasan dilarang agama dan tidak menyelesaikan masalah.

Kapolda Jawa Tengah Irjen Didiek Sutomo Triwidodo dalam tatap muka dengan para tokoh lintas agama se-Surakarta di Pemkab Klaten, Kamis (27/10), meminta para tokoh agama untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan demi stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Kerukunan antarumat beragama harus dipelihara agar tercipta kamtibmas yang kondusif.


Untuk menciptakan situasi yang kondusif, kemitraan polri dengan tokoh lintas agama dan masyarakat sangat penting. Karena, keamanan tanggung jawab negara bersama masyarakat.

Upaya yang dilakukan untuk memelihara kemananan masih ada hambatan dengan adanya aksi-aksi anarkis. Maka, untuk memecahkan masalah itu program polmas digalakkan. Untuk itu, dukungan terhadap program polmas dibutuhkan. Program ini diharapkan dapat mencegah kejahatan, mengidentifikasi, dan memecahkan masalah yang muncul di masyarakat.

Kita sebagai bangsa timur yang terkenal dengan budaya luhur, tentunya lebih mengedepankan sopan santun, dan menghindari konflik maupun kekerasan. Mari kita bersama-sama menjaga kerukunan antar umat beragama demi kesejahteraan masyarakat keutuhan NKRI.

Tulisan Bab 8 Pengaruh Perkembangan IPTEK dalam Kehidupan Masyarakat

Abad ke-21, saat di mana kita hidup sekarang, merupakan masa di mana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Yang paling jelas adalah perkembangan alat komunikasi. Yang mulanya dulu hanya ada surat dan telepon kabel, kini telah berkembang menjadi handphone, laptop, tablet PC, i-pad dan lain sebagainya. Hal ini tentunya membawa dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Begitu banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan dengan lebih mudah dan cepat dari pada sebelumnya. Dalam hal ini tujuan perkembangan teknologi, yaitu membuat kehidupan manusia dapat berjalan dengan lebih mudah bisa dikatakan telah tercapai. Namun, sejalan dengan hukum alam, setiap hal apa lagi suatu perubahan pasti akan membawa efek samping tertentu bagi setiap pihak yang terlibat dalam siklus tersebut. Banyak hal yang berubah terkait dengan perkembangan IPTEK ini, terutama pola hidup masyarakat.

Perubahan alat komunikasi terutama yang memberi dampak paling besar. Masyarakat yang pada awalnya hanya menggunakan surat mulai menggunakan handphone, e-mail, skype dan lain sebagainya untuk berkomunikasi. Hal paling sederhana dan paling lekat dengan kehidupan kita saat ini adalah Handphone. Handphone sebagai alat yang umum dipakai saat ini bisa dikatakan bukan lagi barang mewah. Hal ini disebabkan karena setiap kalangan masyarakat sudah dapat memiliki benda mungil penuh manfaat ini. Mulai dari pekerja kantoran hingga supir angkot memilikinya. Jika diingat kembali pada masa awal tahun 2000, sangat sulit bagi seseorang untuk memiliki benda ini. bisa dikatakan Handphone saat itu termasuk pada kalangan benda mewah. Hanya orang-orang kaya dan yang benar-benar memiliki kepentingan yang memilikinya, apalagi laptop dan PC. Namun hanya dalam waktu 11 tahun hal ini berubah pesat. Perkembangan zama ternyata juga menuntut perkembangan kebutuhan. Ha ini aka terlihat jelas di kalangan mahasiswa. Saat ini mahasiswa yang tidak memiliki handphone, laptop atau PC akan sangat kasulitan karena begitu banyak pekerjaan yang bergantung pada alat-alat ini.

Hal di atas ternyata tidaklah sesempit itu. Begitu banyak hal lain yang ikut terpengaruh akan perkembangan alat-alat ini. Perubahan pola komunikasi ini kemudian akan mengubah standar ekonomi masyarakat. Masyarakat, terutama orang tua, dituntut untuk memiliki penghasilan lebih demi mengikuti perkembangan ini. Kenyataan bahwa perbedaan antara barang mewah dan barang biasa menjadi semakin kabur, membuat tuntutan ini terkadang terasa semakin berat. Standar dari kemewahan terus berubah dan semakin menuntut perkembangan ekonomi masyarakat di tengah semakin sulitnya persaingan ekonomi di antara masyaraka. Bagi yang tidak mampu mengimbangi akan semakin tersisih dan lama kelamaan akan tersingkir bila ia tetap tidak bisa beradaptasi dan survive. Hal ini tentunya akan semakin sulit bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan (skill) atau koneksi yang dapat membantu untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Dalam segi positif perkembangan ini memang membuat masyarakat semakin mudah dalam mengakses informasi. Setiap orang dapat mengakses informasi apapun yang mereka butuhkan dari seluruh dunia. Namun penyebaran informasi ini terkadang tidak terkendali. Begitu banyak informasi yang memerlukan pertumbangan lebih lanjut untuk disebarkan secara bebas tanpa pengawasan. Hal ini sering kali menghasilkan efek samping negatif pada anak-anak di bawah umur yang dengan bebasnya menyaksikan dan mempelajari hal-hal tidak atau belum layak untuk mereka konsumsi dari berita yang publikasinya dilakukan tanpa melalui proses sensor yang benar.

Meskipun teknologi itu diciptakan untuk kepentingan bersama dan untuk memudahkan masyarakat dalam beraktivitas, akan tetapi tetap saja ada efek samping negatif seperti yang telah dipaparkan di atas. Semua itu kembali kepada individu yang menjalani, bagaimana ia memanfaatkan dan akan digunakan untuk apa teknologi tersebut.

Tulisan Bab 7 Pengembangan sosial

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan, setidaknya manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu saja potensi yang dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal dalam menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan. Mengingat begitu besar dan berharganya potensi yang dimiliki manusia, maka manusia harus dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini. Dilain pihak manusia juga memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran yang berbeda dengan makhluk yang lain. Sedangkan pendidikan itu adalah usaha yang disengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia.

Secara sosiologi pendidikan adalah sebuah warisan budaya dari generasi kegenerasi, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas masyarakat itu tetap terpelihara. Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap kegiatan manusia tidak terlepas dari unsursosialbudaya.
Memasuki abad ke-21 dan menyongsong milenium ketiga tentu akan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari era globalisasi. Dan pada kenyataannya masyarakat mengalami perubahan sosial yang begitu cepat, maju dan memperlihatkan gejala desintegratif yang meliputi berbagai sendi kehidupan dan menjadi masalah, salah satunya dirasakan oleh dunia pendidikan. Tidak hanya perubahan sosial, budaya pun berpengaruh besar dalam dunia pendidikan akibat dari pergeseran paradigma pendidikan yaitu mengubah cara hidup, berkomunikasi, berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan mengetahui begitu pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan dapat merespon hal-hal tersebut secara baik dan bijak.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah : bagaimanakah landasan sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia ?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Sosiologi pendidikan

Ada sejumlah definisi tentang sosiologi, namun walaupun berbeda-beda bentuk kalimatnya, semuanya memiliki makna yang mirip. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Dengan demikian sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimna susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain (Made Pidarta, 1997 : 145).

Sama halnya dengan pengertian manusia, pengertian pendidikan banyak sekali ragam dan berbeda satu dengan lainnya. Hal ini tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut Driyakarya, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Crow and Corw berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya, membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi. Sedangkan Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek)danjasmanianak.
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 bab 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan adalah asas, dasar atau fondasi yang memperkuat dan memperkokoh dunia pendidikan dalam rangka untuk menciptakan pendidikan yang berkualitasdanbermutu.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan di atas, pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses mendidik, yakni proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam lingkungannya sehingga akan menimbulkan perubahan dalam dirinya, yang dilakuakan dalam bentuk pembimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan.

Dengan demikian pengerian sosiologi pendidikan yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik itu individu atau kelompok dengan peresekolahan sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan.

2. Sosiolagi dan Pendidikan

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Salah satu bagian sosiologi, yang dapat dipandang sebagai sosiologi khusus adalah sosiologi pendidikan. Wuradji (1988) menulis bahwa sosiologi pendidikan meliputi : 1) interaksi guru-siswa; 2) dinamika kelompok di kelas dan di organisasi intra sekolah; 3) struktur dan fungsi sistem pendidikan dan; 4) sistem masyarakat dan pengaruhnya terhadap pendidikan. Wujud dari sosiologi pendidikan adalah tentang konsep proses sosial.

Untuk mempermudah sosialisasi dalam pendidikan, maka seorang guru harus menciptakan situasi, terutama pada dirinya, agar faktor-faktor yang mendasari sosialisasi itu muncul pada diri peserta didik. Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kini kita lanjutkan dengan pembahasan kelompok sosial, dimana kelompok sosial ini berarti himpunan sejumlah orang, paling sedikit dua orang, yang hidup bersama, atau karena cita-cita yang sama. Dalam dunia pendidikan kelompok sosial ini dapat berbentuk kelompok personalia sekolah, kelompok guru, kelompok siswa, kelas, subkelas, kelompok belajar di rumah dan sebagainya. Berbicara tentang dinamika kelompok, maka perlu diketahui tentang istilah dinamika yang stabil. Suatu kelompok sosial dinamis yang stabil, artinya kelompok ini berusaha maju mengikuti arah perkembangan zaman atau mengantisipasi perkembangan ilmu dan teknologi dengan tetap memperhatikan kestabilan kelompok. Wuradji (1988) menyebutkan tiga prisip yang melandasi kestabilan kelompok, yaitu integritas, ketenangan dan konsensus.

Untuk menciptakan dinamika yang stabil di sekolah, sebaiknya sekolah sebagai micro order atau keteraturan kecil (Broom,1988) atau sekolah kecil sebagai masyarakatkecil. Dalam sosiologi, perilaku manusia bertalian dengan nilai-nilai, dan sekolah-sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai ini pada peserta didik di sekolah. Wuradji (1988) mengemukakan sekolah sebagai kontrol sosial dan sebagai perubahan sosial. Tugas-tugas pembinaan mental tersebut harus sejalan dengan salah satu pasal dalam UU pendidikan RI yang mengatakan bahwa sekolah/pemerintah, orang tua, siswa dan masyarakat secara bersama-sama bertanggung jawab atas lancarnya pelaksanaan pendidikan (Fauzan, 2009:4).

3. Kebudayaan dan Pendidikan

Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat (Imran Manan, 1989). Kebudayaan produk perseorangan ini tidak disetujui Hasan (1983) dengan mengemukakan kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain-lain kepandaian. Sedangkan Kneller mengatakan kebudayaan adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.

Dari ketiga devinisi kebudayaan diatas, tampaknya devinisi terakhir yang paling tepat, sebab mencakup semua cara hidup ditambah dengan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manuasia itu sendiri sebagai warga masyarakat (Made Pidarta, 1997 : 157).

Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu nilai-nilai. Pendidikan membuat orang berbudaya, pendidikan dan budaya bersama dan memajukan. Makin banyak orang menerima pendidikan makin berbudaya orang itu dan makin tinggi kebudayaan makin tinggipula pendidikan atau cara mendidiknya. Karena ruang lingkup kebudayaan sangat luas, mencakup segala aspek kehidupan manusia, maka pendidikan sebagai salah satu aspek kehidupan dalam kebudayaan. Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan alienasi dari subjek yang dididik dan seterusnya kemungkinan matinya kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu kebudayaan umum harus diajarkan pada semua sekolah. Sedangkan kebudayaan daerah dapat dikaitkan dengan kurikulum muatan lokal, dan kebudayaan populer juga diajarkan dengan proporsi yang kecil.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga bisa berubah dan bila pendidikan berubah akan dapat mengubah kebudayaan. Pendidikan adalah suatu proses membuat orang kemasukan budaya, membuat orang berprilaku mengikuti budaya yang memasuki dirinya. Sekolah sebagai salah satu dari tempat enkulturasi suatu budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan bagi anak dalam mengembangkan dirinya.

4. Masyarakat dan Sekolah

Asal mula munculnya sekolah adalah atas dasar anggapan dan kenyataan bahwa pada umumnya para orang tua tidak mampu mendidik anak mereka secara sempurna dan lengkap. Karena itu mereka membutuhkan bantuan kepada pihak lain, dalam hal ini adalah Lembaga Pendidikan, untuk mengembangkan anak-anak mereka secara relatif sempurna, walaupun cita-cita ini tidak otomatis tercapai. Warga masyarakat dan parapersonalia sekolah masih memerlukan perjuangan keras untuk mencapai cita-cita itu, yang sampai sekarang belum pernah berhenti. Sebab sejalan dengan perkembangan kebudayaan, makin banyak yang perlu dipelajari dan perjuangan di sekolah.

Sekolah tidak dibenarkan sebagai menara air, yaitu melebur menjadi satu dengan masyarakat tanpa memberikan identitas apa-apa. Ia juga tidak dibenarkan sebagai menara gading yang mengisolasi diri terhadap masyarakat sekitarnya. Lembaga pendidikan yang benar adalah ibarat menara mercusuar yakni menara penerang, yaitu berada di masyarakat dan sekaligus memberi penerangan kepada masyarakat setempat. Lembaga pendidikan harus tetap berakar pada masyarakat setempat, memperhatikan ide-ide masyarakat setempat, melaksanakan aspirasi mereka, memanfaatkan fasilitas setempat untuk belajar, dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat setempat. Sementara itu ia berusaha meningkatkan cara hidup dan kehidupan masyarakat dengan cara memberi penerangan, menciptakan bibit unggul, menciptakan teknologi baru, merintis cara beternak dan bertani yang lebih baik, dan sebagainya.

Manfaat pendidikan bagi masyarakat adalah untuk meningkatkan peranan mereka sebagai warga masyarakat, baik yang berkaitandengan kewajiban maupun dengan hak mereka. Dalam rangka pendidikan seumur hidup misalnya, warga belajar bisa belajar tentang apa saja sesuai dengan minat dan bakat mereka, sehingga pemahaman, keterampilan tertentu, dan sikap mereka semakin meningkat. Hal ini membuat mereka merasa semakin mantap sebagai warga negara (Made Pidarta, 1997 : 170).

Hubungan yang erat antara sekolah dengan masyarakat karena saling membutuhkan satu dengan yang lain, membuat kemungkinan terbentuknya badan kerja sama yang relatif lama. Badan kerja sama ini yang anggota-anggotanya adalah wakil-wakil oarang tua siswa, para tokohasyarakat, dan beberapa guru bertugas membantu mensukseskan misi pendidikan. Pada masa sekarang badan ini banyak berkecimpung dalam perencanaan dan pelaksanaan kurikulum muatan lokal, di samping mengurusi dukungan-dukungan masyarakat terhadap sekolah seperti telah diuraikan di atas.

Berdasarkan uaraian di atas, dapatlah kita sarikan penjelasan masyarakat dan sekolah ini sebagai berikut:

1) Sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat

2) Sekolah bermanfaat bagi kemajuan budaya masyarakat, khususnya pendidikan anak-anak.

3) Masyarakat memberi sejumlah dukungan kepada sekolah.

4) Perlu ada badan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat dalam mensukseskan pendidikan (Made Pidarta, 1997 : 174).

5. Fungsi Sosiologi Terhadap Pendidikan

Dalam perkembangan landasan sosial budaya memiliki fungsi yang amat penting dalam dunia pendidikan yaitu:

1) Mewujudkan Masyarakat yang Cerdas

Yaitu masyarakat yang pancasilais yang memiliki cita-cita dan harapan dapat demokratis dan beradab, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan bertanggung jawab dan berakhlak mulia tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif serta memiliki kesadaran dan solidaritas antar generasi dan antara bengsa.

2) Transmisi Budaya

Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.

3) Pengendalian Sosial

Pengendalian sosial berfungsi memberantas atau memperbaiki suatu perilaku menyimpang dan menyimpang terjadinya perilaku menyimpang. Pengendalian sosial juga berfungsi melindungi kesejahteraan masyarakat seperti lembaga pemasyarakatan dan lembaga pendidikan.

4) Meningkatkan Iman dan Taqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Pendidikan sebagai budaya haruslah dapat membuat anak-anak mengembangkan kata hati dan perasaannya taat terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluknya.

5) Analisis Kedudukan Pendidikan dalam Masyarakat

Hubungan antara lembaga pendidikan dengan masyarakat dapat dianalogikan sebagai selembar kain batik. Dalam hal ini motif-motif atau pola-pola gambarnya adalah lembaga pendidikan dan kain latarnya adalah masyarakat. Antara lembaga pendidikan dengan masyarakat terjadi hubungan timbal balik simbiosis mutualisme. Pendidikan atau sekolah memberi manfaat untuk meningkatkan peranan mereka sebagai warga masyrakat

6. Dampak Konsep Pendidikan

Konsep pendidikan mengangkat derajat manusia sebagai makhluk budaya yaitu makhluk yang diberkati kemampuan untuk menciptakan nilai kebudayaan dan fungsi budaya dan pendidikan adalah kegiatan melontarkan nilai-nilai kebudayaan dari generasi ke generasi. Kebudayaan masyarakat jika dikaitkan dengan pendidikan maka ditemukan sejumlah konsep pendidikansebagai berikut:

1) Keberadaan sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sekitarnya, keduanya saling menunjang. Sekolah seharusnya menjadi agen pembangunan di masyarakat.

2) Perlu dibentuk badan kerja sama antara sekolah dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk wakil-wakil orang tua siswa untuk ikut memajukan pendidikan.

3) Proses sosialisasi anak-anak perlu ditingkatkan.

4) Dinamika kelompok dimanfaatkan untuk belajar.

5) Kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia ikut mempengaruhi pendidikan atau perkembangan anak. Sebaliknya pendidikan juga dapat mengubah kebudayaan.

6) Akibat kebudayaan masa kini, ada kemungkinan pergeseran paradigma pendidikan, yaitu dari sekolah ke masyarakat luas dengan berbagai pengalaman yang luas (Made Pidarta, 1997 : 183).

C. PENUTUP

1. Simpulan

Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Sosiologi merupakan ilmu yang membahas atau mempelajari interaksi dan pergaulan antara manusia dalam kelompok dan struktur sosial.

2) Kebudayaan adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat dan kemampuan-kemampuan serat kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.

3) Sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik itu individu atau kelompok dengan persekolahan sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan.

4) Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Apabila kebudayaan berubah maka pendidikan juga berubah, dan apabila pendidikan berubah akan dapat mengubah kebudayaan.

5) Hubungan antara lembaga pendidikan dengan masyarakat dapat dianalogikan sebagai selembar kain batik. Dalam hal ini motif-motif atau pola-pola gambarnya adalah lembaga pendidikan, sedangkan kain latarnya adalah masyarakat itu sendiri. Antara lembaga pendidikan dengan masyarakat akan terjadi hubungan timbal balik simbiosis mutualisme, yakni lembaga pendidikan memberi manfaat untuk me3ningkatkan peranan mereka sebagai masyarakat.


Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Aplikasi Program “posdaya”

Desa merupakan penyumbang bahan makanan pokok bagi masyarakat perkotaan, disamping itu masyarakat desa juga sebagai penyuplai tenaga kerja baik untuk industri ataupun bisnisdan rumah tangga untuk perkotaan. Tetapi, subangsih masyarakat desa tersebut tidak diikuti oleh kesejaheraan masyarakat desa dalam berbagai bidang sepeti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Kalau diamati lebih jauh lagi, kita akui bahwa jumlah rasio wilayah antara kota dan desa. Dapat dikatakan lebih luas di desa, tetapi jika kita hanya menunggu kucuran bantuan dari anggaran pemerintan yang saat ini masih terpusat pada pembangungan didaerah perkotaan. Maka dari itu, masyarakat desa jangan terlalu menggantungkan terhadap kucuran bantuan dari pemerintah, diperlukan suatu usaha dari masyarakat desa khususnya kolaborasi antara pemintah daerah, perguruan tinggi, dan pelaku usaha untuk memperdayakan masyarakat desa.

Program yang dimaksudkan ialah POSDAYA yaitu Program Pemberdayaan Keluarga. POSDAYA sendiri terdiri dari 4 bidang yaitu kesehatan, ekonomi atau kewirausahaan, pendidikan, dan lingkungan. Program ini pertama kali dicetuskan oleh Yayasan Damandari yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengapdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Program POSDAYA ini pada awalnya diujicobakan pada beberapa desa di Kabupaten Purbalingga, tetapi melihat pencapaian dari program ini yang baik, maka program ini dilanjutkan hingga saat ini ke beberapa Kabupaten di Daerah Tawa Tengah. Penjelasan rinci dari setiap program POSDAYA sendiri ialah terdiri sebagai berikut:

1. Bidang Kesehatan, bidang ini merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi masyarakat, tetapi indeks kesadaran masyarakat desa untuk secara rutin memperhatikan aspek kesehatannya masih sangat rendah, kesehatan sendiri berupa kesehatan dalam kebiasaan hidup sehat. Untuk bidang kesehatan sendiri terdiri dari beberapa program strategik, yakni:

· Senam sehat setiap minggu

· Posyandu lansia dan balita

· PHBS bagi anak-anak sekolah

· Ambulan desa

· Bina kesehatan remaja (Olahraga)

2. Bidang Pendidikan, bidang ini juga merupakan salah bagian terpenting bagi proses pemberdayaan masyarakat. Tetapi yang terjadi di masyrakat desa ialah masyarakat masih enggan menyekolahkan anaknya minimal pada pendidikan usia dini, hal tersebut diakibatkan karena faktor edukasi masyarakat desa bahwa pendidikan ialah hal yang mahal dan pemahaman bahwa pendidikan tinggi malah membuat mereka sulit untuk memperoleh pekerjaan. Bidang pendidikan ini, lebih memfokuskan pada pengembangan dan pendukung pendidikan pada anak-anak usia dini yang murah. Program tersebut yaitu:

· PAUD

· TPQ

· Perpustakaan Desa

3. Bidang Ekonomi atau kewirausahaan, pada bidang ini masyarakat desa terkenal dengan keuletannya tetapi mereka perlu memperoleh binaan untuk memacu kreatifitasnya. Disamping itu masyarakat desa terjebak dengan manajemen keuangan keluarga yang tidak efisien dan banyaknya potensi yang ada di desa yang belum didayagunakan untuk menjadi produk unggulan. Program tersebut yaitu:

· Koperasi.

· Kelompok tani.

· Home Industri

· Pembinaan kewirausahaan

· Manajemen keuangan keluarga

4. Bidang lingkungan, pada bidang ini merupakan bidang yang terbaru pada program posdaya. Alsan mendasar munculnya bidang ini ialah karena kesadaran masyarakat desa yang rendah dan cenderung sedikit apatis terhadap konidi lingkungan, disamping itu didaerah desa memiliki halaman pekarangan yang sangat luas tetapi lahan yang sangat luas tersebut tidak diikuti oleh pemanfaatan lahan yang masih minim sehingga jika dimanfaatkan dengan optimal akan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat desa. Lingkungan disini diartikan sebagai lingkungan fisik yang ada dimasyarakat desa yaitu berupa: halaman, pepohonan, dll. Program tersebut yaitu:

· Intensifikasi pekarangan

· Tanaman gizi

· Tanaman toga

· Kolam ikan menggunakan media terpal ataupun kolam tanah

Keempat program posdaya diatas dapat bersinergi melalui kerjasama antara aparatur ataupun dinas pemerintahan pada tingkat desa dengan masyarakat desa, yang dimana didukung oleh pelaku usaha dan perguruan tinggi sebagai pemegang konsep. Sehingga akan terwujud masyarakat desa yang maju dalam hal pola pikir, kesehatan, dan kesejahteraan serta terciptanya kebermanfaatan lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat desa.

Tentang Politik dan Ekonomi Apartheid

Abstraksi Sejarah

Apartheid berasal dari bahasa Afrika: apart memisah, heid berarti sistem atau hukum, jadi, makna dalam konteks sejarahnya adalah sebagai sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990.

Hukum apartheid dicanangkan pertama kali di Afrika Selatan, yang pada tahun 1930-an dikuasai oleh dua bangsa kulit putih, koloni Inggris di Cape Town dan Namibia dan para Afrikaner Boer (Petani Afrika) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Arika Selatan bagian timur atau disebut Transvaal (sekarang kota Pretoria dan Johannesburg).

Setelah Perang Boer selesai, penemuan emas terjadi di beberapa daerah di Afrika Selatan, para penambang ini tiba-tiba menjadi sangat kaya, dan kemudian sepakat untuk mengakhiri perang di antara mereka, dan membentuk Persatuan Afrika Selatan.

Perdana Menteri Hendrik Verwoerd pada tahun 1950-an mulai mencanangkan sistem pemisahan di antara bangsa berkulit hitam, dan bangsa berkulit putih, yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1913 yaitu “Land Act” dimana para bangsa kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun di luar batas “Homeland” mereka, yang sangat kotor dan tidak terawat. Dari banyak sekali Homeland (bahasa Afrikaans:Tuisland) yang dibentuk/ dipisahkan dari Afrika Selatan yang “putih”. Empat menyatakan kemerdekaannya; yaitu negara yang dikelompokkan menjadi TBVC (Transkei, Bophutatswana, Venda, dan Ciskei) dari suku bahasanya.

Frederik Willem de Klerk adalah orang yang mengakhiri masa suram ini dengan pidato-pidatonya yang reformatif. Negara Republik Afrika Selatan setelahnya ini akan berdiri dengan pimpinan demokratis Nelson Mandela yang mempunyai nama alias “Rolitlatla” (Pengambil Ranting/pencari gara-gara).

Kerangka Ekonomi-Politik Sebagai Metode Analisa

Rasialisme yang semakin menguat pada masa itu di Afrika Selatan perlu dikaji bagian-bagaiannya lebih mendalam, agar, terdekteksi makna mendasar darimana awal kemunculan rasialisme yang imanen dalam masyarakat Afrika Selatan. Maka, kajian dalam kerangka ekonomi-politik harus dikedepankan untuk mengetahui dasar-dasar pemikiran yang muncul.

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, mereka dibentuk oleh identitas yang kuat dari suku, agama, etnik atau kebangsaan. Akibatnya, malapetaka terbesar terjadi karena ada persaingan dan konflik dari komunitas-komunitas tersebut. Sehingga komunitas dibedakan berdasarkan kelas-kelas dengan cara mengeksploitasi kelas bawah dan kelas atas secara universal. Oleh Marx, kemunculan fragmentasi sosial yang terlalu banyak (seperti agama, politik, ekonomi) adalah akibat dari kesalahan menganalisa sejarah, sejarah yang terlepas dari relasi produksi. Dimana tatanan sosial-politik-budaya tersebut lahir dari dialektika basic dan suprastruktur yang diciptakan oleh kekuasaan pada tiap-tiap periodenya masing-masing. Maka, oleh Marx, segala hal ihwal yang terkait dengan fragmentasi sosial hanyalah cerminan dari corak produksi masyarakat, dimana Marx dengan berani menyederhanakan masyarakat dalam dua kelompok, yaitu, kelompok yang memiliki alat produksi dan kelompok yang tidak memiliki alat produksi.

Analisa Sosial

Konflik sosial yang terjadi tidak hanya muncul dari pertentangan antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain secara horizontal dalam keudukannya sebagai warga Negara. Konflik sosial sering terjadi juga antara warga Negara dengan pemerintah yang berkuasa. Dalam hal ini pertentangan sosial antara kelas bawah dengan kelas atas—yang juga sebagai penguasa dalam pemerintahan—juga seringkali terjadi. Artinya adalah system pemerintahan yang dijalankan belum secara maksimal mampu meredam gejolak warga kelas terendah dalam lapisan masyarakat. Dalam masyarakat industrial saat ini menurut Karl Heinrich Marx, masyarakat terbagi menjadi klas-klas yang muncul akibat dari pertentangan antara klas pemilik alat produksi (borjuis/pemodal) dan klas yang tidak memiliki alat produksi (proletar/buruh) yang bekerja untuk menerima upah dari klas pemilik alat produksi. Menurut penulis, itulah alasan mengapa Marx menganggap bahwa “klas merupakan determinisme ekonomi”. Marx mengistilahkan klas borjuis dan klas buruh.


Dalam dasar-dasar filsafat Materialisme-Dialektika-Historis (MDH) klas antara buruh dan pemilik modal tersebut digolongkan lagi oleh Marx dalam klas fundamental dan non fundamental. Ada tiga asumsi dasar yang dipakai Marx dalam mengembangkan teori konflik miliknya. Pertama, organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan kekayaan, diasumsikan sebagai struktur dasar (base-structure) yang menentukan bentuk-bentuk organisasi lainnya dalam sebuah masyarakat. Kedua, kekuatan-kekuatan yang menghasilkan konflik kelas revolusioner diasumsikan inheren dalam organisasi ekonomi. Ketiga, konflik bersifat bipolar, antara kelas yang dieksploitasi dan kelas penindas (buruh dan pemodal). Begitu juga dengan teori Weber yang lebih luas menganalisa tentang kelas sosiologis, bagi penulis tidak begitu mempermasalahkan pertentangan antara Karl Marx dan Weber, malahan dari kedua teori tersebut sebenarnya saling melengkapi jika pemikiran Karl Marx diteliti lebih jauh lagi terutama dalam dasar-dasar pemikiran filsafat Materialisme Dialektika Historis yang dipakainya sebagai landasan dan pisau analisa mengetahui pertentangn klas-klas dalam masyarakat. Max Weber mengatakan bahwa stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.

Medan Problematika

Dalam bagian permasalahan, Penulis mengangkat masalah mengenai politik Apartheid yang terjadi di Afrika Selatan. Alasan Penulis mengangkat permasalahan ini adalah karena substansi dari Apartheid itu menyangkut masalah ras dan kelas. Parahnya permasalahan politik Apartheid ini sampai pada masalah kemanusiaan, sehingga perlu perhatian seksama dari dunia internasional.

Permasalahan yang terjadi dalam politik Apartheid adalah manusia yang berkulit hitam, berbeda dengan manusia yang berkulit putih. Manusia yang berkulit hitam bernilai rendah dibandingkan manusia yang berkulit putih yang dinilai tinggi. Dampak dari pembedaan ini, muncul kelas-kelas dalam masyarakat Afrika Selatan, yaitu manusia kulit berwarna putih adalah mereka yang berada di kelas satu. Masyarakat ataupun manusia yang berkulit hitam adalah mereka yang berada di kelas dua.


Dari permasalahan kelas itulah terjadi sikap yang eksklusivisme dan diskriminatif. Seseorang yang berkulit hitam tidak mendapatkan hak pelayanan publik yang baik dibandingkan mereka yang berkulit putih. Parahnya lagi, mereka yang berkulit hitam dieksploitasi oleh mereka yang berkulit putih dalam memainkan roda produksi dan ekonomi.


Jika dikaitkan dengan tulisan John Cobb, hal ini persis terjadi dengan apa yang terjadi dengan masyarakat yang ada di Amerika. Selain permasalahan suku Indian yang asli penghuni Amerika yang ditindas, permasalahan warna kulit juga menjadi hal yang serius terjadi di negara adi daya ini. Sama seperti politik Apartheid di Afrika Selatan, permasalahan warna kulit di Amerika menganggap bahwa kulit putih lebih tinggi hak dan martabatnya dibandingkan mereka yang berkulit gelap. Dari hal itu muncul persitegangan antara mereka yang Amerika berkulit hitam dengan Amerika yang berkulit putih. Pertanyaan yang dapat ditanyakan bagi mereka yang berkulit hitam adalah Apa yang dimaksudkan dengan masyarakat Amerika; sedangkan bagi mereka yang berkulit putih adalah bagaimana ide tentang ras terbentuk dalam sejarah Amerika?


Menurut Cobb, perkembangan kolonialisme serta imperialisme bangasa Eropa, berdampak pada perbedaan secara fisik atau warna kulit. Selain terkait dengan masalah rasis, masalah yang terjadi di Amerika juga berhubungan dengan masalah kelas. Eksploitasi dalam bidang tenaga kerja terjadi, sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. John Cobb melihat bahwa pekerja yang dibayar setengah waktu dibayar di bawah upah minimum. Akibatnya mereka ingin dibayar penuh, agar kebutuhan hidup mereka dapat disesuaikan dengan upah minimum yang mereka peroleh. Ini berarti, terjadi konstruksi sosial dalam masyarakat. Namun demikian, ini tidak murni berasal dari konstruksi sosial. Sebagian berasal dari konstruksi ekonomi, yang didasarkan dari ketidakpastian nyata dari kehidupan ekonomi dan politik dalam kehidupan bermasyarakat.

Ada dua kebijakan umum dari pemerintah yang mengakibatkan munculnya kelas bawah, yaitu: pertama, perang terhadap obat terlarang yang sering berputar di sekitar mereka yang kurang mampu; serta kedua, memelihara pengangguran. Hal ini menyebabkan mereka yang tidak memiliki pekerjaan menjadi buruh. Hal ini disadari pemerintah, jadi usaha yang dilakukan pemerintah yaitu memberikan dukungan kepada mereka yang tidak bisa mendapat pekerjaan. Selain itu Federal Reserved Board juga menjaga inflasi dengan cara menaikkan tingkat suku bunga dalam situasi yang dibutuhkan, karena jika tingkat pengangguran turun berpotensi terjadi inflasi.


Mungkin sedikit agak rancu, mengapa ketika Penulis mengangkat permasalahan mengenai politik Apartheid, yang dibahas dalam permasalahan lebih banyak kasus yang terjadi di Amerika? Penulis sebenarnya ingin menunjukkan bahwa, apa yang ditulis oleh John Cobb mengenai permasalahan di Amerika, identik dengan permasalahan Apartheid yang diangkat Penulis yang juga terjadi di Afrika Selatan. Keidentikan tersebut bisa dilihat dalam hal rasisme, serta pembagian kelas yang terjadi dalam masyarakat. Pembagian kelas di Afrika Selatan akibat politik Apartheid, mungkin bisa disejajarkan dengan pembagian kelas menurut Marxis yang dipaparkan Cobb dalam bukunya. Hal ini yang perlu digali dan dianalisa lebih mendalam lagi, untuk melihat apakah pembagian kelas dari Marxis dapat digunakan dalam pembagian kelas karena politik Apartheid.


Seseorang yang berkulit hitam di Afrika Selatan diidentikan sebagai kaum yang tereksploitasi oleh kaum kulit putih, sehingga perbudakan di Afrika Selatan semakin susah untuk dihilangkan. Hal ini terjadi dalam banyak hal, seperti ekonomi, sosial dan politik. Bahkan lebih ekstrim lagi, Marx mensinyalir bahwa agama juga berperan dalam keterasingan manusia akibat eksploitasi. Dari sekian banyak permasalahan yang dipaparkan Penulis dalam makalah ini, maka Penulis merumuskan permasalahan ke dalam tiga pertanyaan besar, yaitu :

  1. Bagaimana Apartheid mempengaruhi sistem kelas yang ada di masyarakat Afrika Selatan?
  2. Bagaimana peran agama dalam menyikapi masalah ras dan kelas yang terjadi akibat politik Apartheid di Afrika Selatan?
  3. Sistem seperti apa yang dapat menghilangkan pembedaan ras dan kelas dalam politik Apartheid di Afrika Selatan?

Kerangka Teoritik


Karl Marx :

Marx melihat bahwa proses pembentukan kelas-kelas dalam masyarakat adalah bagian dari proses sosial dan ekonomi yang berlandaskan pada proses produksi. Menurut Marx, masyarakat feodalistik mengatur proses produksinya, yaitu melalui gilda yang mandiri, disapu bersih oleh sistem kepabrikan yang lengkap dan modern. Tuan-tuan tanah dan pemilik gilda (borjuis) disingkirkan oleh kelas menengah, pedagang, dan mesin-mesin modern. Tersingkirnya cara produksi yang lama sesungguhnya merupakan seleksi alam yang biasa. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan akan tersingkir.

Marx meyakini bahwa identitas suatu kelas sosial ditentukan oleh hubungan sarana-sarana produksi. Berdasarkan hal tersebut, Marx mendeskripsikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat Kapitalis yang terdiri atas, kaum proletar dan borjuis. Kaum proletar merupakan mereka yang menjual tenaga kerja mereka yang tidak memiliki sarana produksi. Sedangkan borjuis merupakan mereka yang memiliki sarana produksi, dan membeli tenaga kerja proletar dan mengeksploitasi mereka.

Politik Apartheid

Istilah Apartheid berasal dari serapan bahasa Afrika Selatan, yaitu Apart (terpisah) dan Heid (sistem/hukum). Apartheid juga bisa dipahami sebagai sebuah sistem pemisahan yang dirancangkan oleh pemerintah kulit putih Afrika Selatan, sejak awal abad XX – tahun 1990-an. Tahun 1930-an, hukum Apartheid pertama kali dicanangkan di Afrika Selatan, dimana dikuasai oleh dua bangsa kulit putih. Kedua bangsa kulit putih itu adalah Inggris di Cape Town dan Namibia-Afrikaner Boer yang berlomba untuk menguasai daerah di Pretoria dan Johannesburg. Setelah perang Boer terjadi, dua bangsa ini menjadi kaya. Perdana Menteri Hendrik Verwoerd pada tahun 1950-an mulai mencanangkan sistem pemisahan di antara bangsa berkulit hitam, dan bangsa berkulit putih, yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1913 yaitu “Land Act” dimana para bangsa kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun di luar batas “Homeland” mereka, yang sangat kotor dan tidak terawat. Dari banyak sekali Homeland (bahasa Afrikaans: Tuisland) yang dibentuk/ dipisahkan dari Afrika Selatan yang “putih”. Empat menyatakan kemerdekaannya; yaitu negara menjadi TBVC (Transkei, Bophutatswana, Venda, dan Ciskei) dari suku bahasanya.

Teologi Hitam :

Teori ini diperkenalkan oleh Martin Luther King Jr, yang merupakan suatu respon ketidakadilan kulit hitam sebagai kaum yang dieksploitasi dari kaum kulit putih. Faktor pembentuk perspektif teologi hitam didasarkan pengalaman mereka yang berkulit hitam yang sangat direndahkan dan penuh penderitaan. Faktor selanjutnya yang membentuk teologi hitam adalah sejarah kaum kulit hitam yang tidak diperhitungkan secara kemanusiaan.


Martin Luther King Jr melakukan kritik ideologi terhadap persoalan diskriminasi, yang salah satunya adalah rasisme. Tujuannya adalah memperjuangkan kesamaan hak antara orang kulit hitam dengan mereka yang berkulit putih dalam berbagai aspek. Sifat dari teologi hitam ini secara ideologi memiliki ciri yang peyoratif. Dampaknya mereka mulai membangun resistensi identitas sebagai dasar dan bentuk perlawanan, dimana mereka memberi definisi bagi posisi mereka dalam masyarakat. Atau dengan kata lain sebagai bentuk transformasi dari struktur sosial. Intinya dalam teologi hitam adalah kritik sosial yang ditujukkan untuk mengkritik sistem dominasi seperti rasisme dan kemiskinan yang mengakibatkan ketidakadilan.


Konsep Keadilan menurut Rawls:

Asumsi dasar konsep keadilan menurut Rawls dibagi menjadi tiga bagian, yaitu manusia merupakan individu yang rasional dan otonom. Kedua, pandangan Rawls tentang masyarakat didasarkan pada teori kontrak sosial. Dan ketiga, Rawls melihat tentang konsep dasar manusia, yaitu hak-hak dasar manusia seperti berpikir dan hati nurani; kebebasan bergerak dan memilih pekerjaan; kekuasaan dan prerogratif; kebebasan mengenai pendapatan dan kekayaan; kebebasan berbasis harga diri.

Analisis

Dari kasus tersebut, analisanya adalah paham rasis yang fundamental menimbulkan terbentuknya kelas. Hal ini dapat ditelaah mulai dari hal yang terkecil dahulu, yaitu keluarga sebagai komunitas terkecil dalam masyarakat. Tidak adanya penghargaan terhadap perbedaan, membuat masyarakat hidup dalam karakter alami seperti awalnya terbentuk. Dari hal tersebut, terbentuk sifat keeksklusivan sehingga menjadikan paham persaingan yang menginginkan kekalahan etnis lain.

Dalam kasus Apartheid, kulit hitam tidak diperhitungkan nilai kemanusiaannya, seperti yang dipaparkan dalam teologi Hitam. Hal ini memicu adanya konflik kemanusiaan. Apa yang dilakukan para pejuang kulit hitam di Afrika Selatan, merupakan apa yang diilhaminya dari Martin Luther King Jr, yaitu menginginkan persamaan hak dan derajat antara manusia yang berkulit hitam dengan yang berkulit putih. Selama ini mereka yang berkulit hitam yang dijadikan masyarakat kelas dua dalam komunitas di Afrika Selatan. Hal ini disebabkan karena mereka yang berkulit putih berhasil menguasai kegiatan ekonomi di daerah-daerah Afrika Selatan. Akibatnya mereka yang berkulit hitam dieksploitasi. Hal ini identik dengan teori yang dikemukakan oleh pengikut aliran Marx, dimana ada kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar. Borjuis dalam konteks Afrika Selatan adalah mereka yang berhasil menguasai perekonomian di Afrika Selatan, sedangkan yang berkulit hitam adalah kaum buruh.


Jika ditinjau lebih dalam lagi dengan teori Karl Marx, maka akan ditemukan bahwa eksplotasi kaum kulit hitam yang diposisikan sebagai proletar, menempatkan mereka pada perbudakan abadi. Dari sini munculah pemerosotan martabat, yang ujung-ujungnya dehumanisasi. Ini ada betulnya, karena politik Apartheid di Afrika Selatan menciptakan kasus kemanusiaan yang serius.


Kesimpulan:

Dari teori dan analisa yang telah disampaikan Penulis, maka dalam bagian kesimpulan ini harus menjawab tiga pertanyaan yang ada di bagian permasalahan, yaitu :

A. Perbedaan warna kulit yang terjadi di Afrika Selatan yang didukung oleh politik Apartheid menciptakan kelas-kelas dalam masyarakat. Masyarakat dari komunitas kulit putih adalah masyarakat kelas satu dan berhak dengan fasilitas publik yang baik. Sedangkan masyarakat dari komunitas kulit hitam adalah masyarakat kelas dua, yang harus mengalah dengan masyarakat kelas satu. Hal ini dapat terjadi karena politik Apartheid adalah suatu sistem yang diciptakan oleh pemerintah Afrika Selatan yang berkulit putih. Dengan begitu jelaslah, mengapa masyarakat dari komunitas kulit putih berubah tempat menjadi masyarakat kelas satu, dibanding masyarakat dari kulit hitam, yang dianggap sebagai kelas dua. Bisa dikatakan, penyekatan dalam kelas-kelas yang terjadi akibat politik Apartheid adalah kelas yang dimaksudkan Marx dalam kritik sosial ekonominya.

B. Dalam politik Apartheid dikatakan bahwa orang Kristen yang berkulit hitam tidak menyumbangkan kontribusi yang berharga bagi kekristenan. Hal inilah yang mendorong lahirnya teologi hitam, yang merupakan kritik terhadap orang Kristen kulit putih yang berpahaman rasisme. Dari analisa Penulis, kesimpulannya adalah bahwa teologi hitam di satu sisi sangat mendorong kesederajatan antara masyarakat dari masyarakat kulit hitam dengan mereka yang berkulit putih. Akan tetapi hal itu bisa saja menjadi mimpi buruk, karena berpotensi untuk sikap eksklusivis dan fundamental dari masyarakat kulit hitam kepada yang berkulit putih. Hal inilah yang harus dipahami oleh agama dalam memainkan perannya di tengah politik Apartheid, yaitu harus melihat lebih cermat dan bersifat mempersatukan.

C. Jika ditanyakan sistem apa yang cocok untuk menghapuskan pembedaan ras dan kelas di Afrika Selatan adalah Penulis bersepakat bahwa konsep keadilan menurut Rawls dapat menghilangkan kelas-kelas yang terjadi akibat polti apartheid. Intinya dalam keadilan Rawls, manusia itu adalah sama, sederajat, dan yang terpenting adalah otonom. Untuk itu harus ada perlindungan bagi mereka yang diperlakukan secara tidak adil. Sistem ini bisa dijalankan dengan kontrak sosial yang damai, bukan dengan kritik yang provaktif yang membangun permasalahan baru lagi.

Tulisan Bab 4 Warganegara dan Negara

Dewasa ini dihadapkan dengan situasi dan kondisi bangsa yang tidak menentu terutama dalam bidang keamanan dengan maraknya aksi terorisme, tindak anarkis maupun kejahatan dengan kekerasan maka ada beberapa pemikiran yang mengemuka tentang perlunya penerapan wajib militer di Indonesia. Banyak pro dan kontra tentang wacana tersebut. Pihak yang mendukung pemikiran tersebut beralasan bahwa dengan wajib militer akan meningkatkan rasa nasionalisme dan kebanggaan berbangsa sehingga akan mewujudkan cinta tanah air yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi tindakan-tindakan tercela seperti tersebut diatas.

Namun sebelum membahas perlu dan tidaknya wajib militer diterapkan di Indonesia, ada baiknya jika kita menelaah lebih dulu apa dan bagaimana wajib militer itu sendiri. Pengertian wajib militer (conscription/duty service) menurut pendapat pribadi saya adalah kewajiban bagi warga suatu negara yang telah mencapai usia tertentu untuk menempuh pendidikan dan selanjutnya mengabdi sebagai anggota militer di negara tersebut dengan jangka waktu tertentu. Apabila telah selesai menempuh wajib militer sesuai jangka waktu yang ditentukan yang bersangkutan dapat keluar dari militer dan melanjutkan karier atau kegiatan di bidang lain. Namun jika yang bersangkutan tetap ingin lanjut berkarier di militer masih diperbolehkan sesuai kelayakan yang bersangkutan.

Jika ditilik dari definisinya maka menurut saya wajib militer diberlakukan dalam jangka waktu tertentu dikarenakan oleh pertimbangan tertentu salah satunya adalah tingkat ancaman baik nasional, regional maupun internasional. Sesuai tingkat ancaman yang dihadapi Indonesia, apakah sudah waktunya jika diterapkan wajib militer. Silakan anda nilai sendiri.

Sedangkan jika ditinjau dari sudut pandang konstitusi, UUD 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Menurut hemat saya wajib militer merupakan salah satu perwujudan dari usaha pembelaan negara jadi jika diterapkan tidak akan bertentangan dengan konstitusi.

Tetapi kita perlu menelaah lebih dulu pengertian bela negara. Dalam pandangan saya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh rasa cinta tanah air untuk mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu saya menempatkan usaha bela negara lebih tinggi dari wajib militer serta perlu melibatkan seluruh unsur dengan militer sebagai kekuatan utamanya.

Sehingga dalam hal ini saya mempunyai pemikiran bahwa pendidikan bela negara lebih diperlukan saat sekarang jika dibandingkan dengan penerapan wajib militer. Pendidikan bela negara wajib meliputi seluruh pengenalan aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM dengan pendekatan aplikatif serta pengenalan dasar-dasar kemiliteran melalui sisi yang menghibur namun memiliki kadar militansi yang tinggi seperti latihan survival, outbond, air softgun, paintball ataupun latihan baris-berbaris.

Tidak perlu lama-lama cukup satu bulan saja bagi yang sudah menginjak usia 17 tahun serta sehat jasmani dan rohani. Untuk lima tahun pertama bahkan tidak perlu diwajibkan dulu. Peserta diharapkan sukarela mengikuti pelatihan ini dengan dievaluasi terus menerus setiap tahun. Baru setelah ditemukan formulasi yang sesuai dapat dibakukan dan diwajibkan bagi warga negara yang telah berusia 17 tahun.

Ini adalah pendapat pribadi saya sendiri, bagaimana dengan anda?

Tulisan Bab 3 Pemuda dalam sosialisasi bermasyarakat

PEMUDA merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekeuasaan.

Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.

Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.

Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.

Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.

Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.

Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.

Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.

Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.

Dengan penuh harapan moga pemuda-pemudi dan generasi penerus harapan bangsa dapat menjelma menjadi sukarno-sukarno masa depan dengan samangat juang yang tinggi. Sebagai motor perjuangan bangsa..ammin ya Allah

Tulisan Bab 2 Jatuh ke dalam Narkoba karena keluarga tidak sehat

Peredaran dan penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Tak hanya dewasa, bahkan anak-anak sekolah sudah menggunakan narkoba. Hasil temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2006 tercatat sebanyak 81.706 pelajar di lingkungan SD, SMP, SMA di Indonesia menggunakan narkoba. BNN mencatat adanya peningkatan yang signifikan pada jumlah pengguna narkoba dari pelajar SD di tahun 2006 yakni berjumlah 8.449 orang yang sebelumnya, pada tahun 2005 berjumlah 2.545 orang. Lonjakan yang paling tinggi terjadi pada pengguna narkoba di lingkungan SMP dan SMA yang mecapai 73.253 orang. Di tahun 2004, jumlah pengguna narkoba pada tingkat SMP dan SMA masing-masing sebanyak 9.206 orang dan meningkat tajam ditahun 2005 menjadi 19.489.

Penggunaan narkoba akan memberikan dampak sangat buruk bagi para pelakunya. National Istitute of Drug Abuse menyebutkan terdapat beberapa penyakit yang mungkin timbul akibat penggunaan narkoba, diantaranya HIV, hepatitis, infeksi, jantung, pembuluh darah, gangguan pernafasan, nyeri lambung, kelainan mental, kanker, kelumpuhan otot, gagal ginjal, penyakit neorologis, gangguan kehamilan dan permasalahan ainnya hingga menyebabkan kematian. Selain dampak yang telah disebutkan, penyalahgunaan narkoba juga memiliki dampak dalam kehidupan sosial serta timbulnya kerugian materi bagi pelakunya.

Sebuah studi menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh faktor yang memicu penggunaan narkoba, yaitu: 1) rendahnya kontrol terhadap tekanan dan adanya keinginan untuk mencapai sensasi, 2) pengaruh keluarga, 3) difficult temprament, 4) perilaku bermasalah sejak dini, 5) kegagalan dalam bidang akademis dan rendahnya komitmen terhadap pendidikan, 6) penolakan dari teman sebaya, 7) berteman dengan pengguna narkoba, 8) pengasingan dan pemberontakan, 9) sikap positif terhadap penggunaan narkoba dan 10) keterlibatan terlalu dini pada pengguna narkoba (Olds dan Feldman dalam Armina, 2008). Semakin banyak faktor pemicu yang ada pada individu dan semakin dini individu mulai menggunakan narkoba, maka akan semakin besar kemungkunan individu tersebut menyalahgunakan narkoba.

Pengaruh keluarga memang sangat begitu besar mempengaruhi seseorang untuk terpicu menggunakan narkoba. Tentu saja pengarah keluarga disini merupakan pengaruh buruk. Hal ini semakin dikuatkan melalui hasil penelitian yang aku lakukan di salah satu pusat rehabilitasi narkoba di Semarang tahun lalu yang berusaha mengungkap optimisme masa depan para mantan pecandu narkoba yang sedang menjalani rehabilitasi.

Hasil wawancara dengan mereka membuahkan kesimpulan bahwa memang pengaruh keluarga yang tidak positif membawa dampak besar terhadap anak yang pada akhirnya jatuh ke jurang narkoba. Dari 5 subjek penelitian, 4 diantaranya memiliki masalah di dalam keluarga mereka, mulai dari rumah tangga yang kurang harmonis (ayah dan ibu sering bertengkar), fungsi keluarga yang tidak pada tempatnya (ayah atau ibu yang tidak berfungsi sesuai dengan perannya), sampai pada kurangnya perhatian keluarga kepada si anak yang menjadi pengguna narkoba (seperti ayah dan ibu yang sibuk bekerja dan tidak mempunyai waktu berkumpul dengan anknya).

Seperti kutipan hasil wawancara dengan subjek C berikut ini

Keadaan keluarga aku dalam posisi dari kecil yatim piatu. Jadi kurang perhatian, ya gitulah… kurang perhatian, kurang apa ya… kurang perhatian…

Ada. Om, tante, tapi kurang apa ya… Mereka juga kurang kasi perhatian juga ke aku karena saudarakan saudara jauh…”

Kutipan wawancara dengan subjek D

Aa… kurang harmonis apa ya… banyak adu debat argumen lah…

Sama ibu. Karena kalau ayahkan dari saya… apa ya… jarang ketemu. Ya relatif sibuk masing-masing.”

Kutipan sedikit wawancara di atas merupakan sebagain kecil dari komplesitas masalah keluarga yang menyebabkan seorang anak beralih menggunakan narkoba. Rapuhnya keluarga, seperti dalam masalah keluarga dalam kutipan wawancara di atas, membuat anak mencari perhatian tidak tidak ke dalam keluarga lagi, tetapi ke luar keluarga, seperti teman sekolah dan lingkungan. Perasaan tidak aman dan tidak perhatikan di dalam keluarga membuat mereka begitu gampang tergoda dan dipengaruhi lingkungan untuk menggunakan narkoba.

Keluarga memang menjadi faktor yang sangat penting dalam hal ini. Bagi mereka-mereka yang sedang menjalani rehabilitasi narkoba, peranan keluarga juga sangatlah besar, terkhusus ayah dan ibu. Dukungan dan cinta kasih orang tua yang menyatu bisa menjadi pendorong mental pencadu untuk sembuh dan tidak menggunakan narkoba lagi. Sikap terbuka dan tidak menghakimi bisa menjadi modal utam untuk mendekatkan orang tua dengan anak.

Aku yakin, tidak ada orang tua manapun yang ingin anaknya menderita dan tertimpa bencana. Penggunaan narkoba menbawa dampak yang sangat besar bagi penderitanya, bisa di bilang menghancurkan hampir seluruh sisi kehidupan penderitanya, tidak hanya ketika menggunakan narkoba saja, setelah sembuh total juga, para mantan pengguna narkoba ini masih harus berhadapan dengan tanggapan negatif masyarakat.

Jadi, langkah pertama berbuat baik, mulailah dari keluarga yang sehat…
Sumber:Kompasiana.com

Tulisan Bab 1 Penduduk, Masyarakat dan kebudayaan

Defenisi dan metode pengukuran kemiskinan

Sebelum membahas kejanggalan yang saya maksudkan, sangat penting bagi kita memahami terlebih dahulu defenisi kemiskinan dan bagaimana angka-angka kemiskinan itu diperoleh.

Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Karenanya, hingga saat ini tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang ingin diukur dapat dikuantifikasi.

Salah satu konsep pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Di Indonesia, pengukuran kemiskinan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun di bulan Maret. Dengan demikian, angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya adalah kondisi Maret, setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena kemiskinan pada dasarnya bersifat dinamis.

Dalam prakteknya, pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan garis kemiskinan (GK) atau batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (setara dengan 2.100 kkal per hari) dan non-makanan (sandang, pangan, perumahan, dan kesehatan).

Untuk menghitung GK dan jumlah penduduk miskin, BPS melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Karena didasarkan pada data survei angka kemiskinan yang dihasilkan adalah estimasi atau perkiraan.

Bank Dunia juga menggunakan data ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Konsep yang digunakan oleh Bank Dunia pada dasarnya sama dengan yang digunakan oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah GK yang digunakan. GK yang digunakan oleh Bank Dunia dalam dollar PPP (purchasing power parity/paritas daya beli). Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan, yakni 1,25 dollar dan 2 dollar. Dollar PPP atau biasa disebut dollar internasional tidak sama dengan dollar currency (dollar AS). Jika dirupiahkan, nilai dollar PPP selalu lebih rendah dibanding dollar AS. Penjelasan mengenai dollar PPP dapat Anda baca pada tautan berikut http://en.wikipedia.org/wiki/Geary%E2%80%93Khamis_dollar

Penggunaan GK dalam dollar PPP oleh Bank Dunia erat kaitannya dengan evaluasi pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs), yang salah satu sasarannya adalah mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015. Karena Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat diperbandingkan) antar negara, maka digunakanlah GK dalam dollar internasional atau dollar PPP.

Kesamaan konsep dan sumber data yang digunakan BPS dan Bank Dunia dalam pengukuran kemiskinan mengakibatkan pergerakan angka kemiskinan hasil hitung-hitungan Bank Dunia selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS−walaupun jumlah atau persentase penduduk miskinnya berbeda. Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia juga akan menunjukkan hal yang sama.

****

Kekeliruan KOMPAS.com

Sebagaimana telah saya nyatakan sebelumnya, ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi dari pemberitaan KOMPAS.Com yang bertajuk ADB: Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”. Kejanggalan pertama terdapat pada redaksi berikut

Untuk diketahui, standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di bawah 1,25 dollar AS per hari (sekitar Rp 10.625).

Sebelumnya, telah saya sebutkan bahwa GK yang digunakan Bank Dunia adalah dalam dollar PPP bukan dollar currency (dollar AS). Kalimat di atas jelas keliru, karena GK yang digunakan oleh ADB seharusnya adalah 1,25 dollar PPP bukan 1,25 dollar AS. Jika Anda membaca publikasi ADB terbaru yang berjudul “ KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE PASIFIC 2011”, pada halaman 147 Anda akan menemukan kalau GK yang digunakan oleh ADB dalam dollar PPP bukan dollar AS. Dan memang seperti itulah seharusnya, karena GK internasional ditujukan untuk komparasi antar negara. Jika menggunakan dollar AS, syarat perbandingan aple to aple tidak terpenuhi karena daya beli (purchasing power) dollar AS tidak sama pada setiap negera.

Sebagai ilustrasi, untuk membandingkan kinerja perekonomian antar negara, Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional lainnya, tremasuk ADB, selalu menggunakan Gorss Domestic Product (GDP) dalam dollar PPP dan GDP dalam dollar AS. Menurut data Bank Dunia, pada tahun 2010, GDP PPP (current price international $) Indonesia mencapai 1.029,79 juta dollar PPP, dan jika menggunakan dollar AS (current price US$) GDP Indonesia mencapai 706,56 juta dollar AS. Sementara itu, berdasarkan data BPS, GDP Indonesia atas dasar harga berlaku (current price) pada tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun. Jika dicermati, di sini nampak jelas bahwa dollar PPP memang berbeda dengan dollar AS.

Berdasarkan angka-angka GDP Indonesia dalam dollar PPP dan dollar AS versi Bank Dunia, serta versi BPS (dalam rupiah), jika dilakukan konversi ke dalam rupiah, pada tahun 2010, 1 dollar PPP setara dengan sekitar Rp 6.255, sedangkan 1 dollar AS setara dengan sekitar Rp 9.075 (kurs dollar saat itu). Di sini terlihat jelas jika dirupiahkan, nilai 1 dollar PPP jauh lebih rendah dari 1 dollar AS.

Dengan demikian, jika dirupiahkan, garis kemiskinan ADB sebesar 1,25 dollar PPP bukan sekitar Rp 10.625, karena nominal ini diperoleh melalui hasil perkalian 1,25 dollar dengan kurs rupiah terhadap dollar saat ini. Dan menurut saya hal ini adalah murni kekeliruan KOMPAS.Com dalam memberitakan laporan ADB (AFP). Saya yakin, baik ADB maupun AFP sama sekali tidak menyebutkan bahwa GK yang digunakan adalah dalam dollar AS.

Konversi GK yang keliru ini, ternyata dikutip oleh seorang kompasianer dalam tulisannya yang berjudul “Puluhan Triliun Rupiah Jelang Lebaran, Jurang Pun Makin Lebar “. Bahkan, dalam tulisan tersebut, penulis telah maju selangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa GK yang digunakan ADB sebesar Rp 318.750 per bulan. Angka ini diperoleh setelah mengalikan Rp 10.625 dengan 30, karena penulis berasumsi jumlah rata-rata hari dalam sebulan adalah 30 hari.

Orang yang tidak paham seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tidak akan melihat hal ini sebagai kekeliruan yang vatal, bahkan mungkin akan mengamini isi tulisan tersebut. Dan inilah yang terjadi pada admin Kompasiana ketika menjadikan tulisan tersebut sebagai headline beberapa waktu yang lalu. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tentu tahu bahwa kekeliruan seperti ini sangat vatal.

Sepintas, perbedaan antara Rp 233.740 (GK BPS) dengan Rp 318.750 memang tidak terlalu jauh. Tetapi implikasinya terhadap angka kemiskinan yang dihasilkan akan sangat berbeda. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin dan hampir miskin Indonesia, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 280.488, mencapai 57,14 juta orang atau sekitar 24 persen dari total populasi Indonesia. Dengan melihat angka ini, proporsi penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 318.750 tentu akan lebih besar lagi−kemungkinan di atas 30 persen dari total populasi−padahal, pada tahun 2009 saja, berdasarkan data Bank Dunia, jika menggunakan GK sebesar 1,25 dollar PPP, proporsi penduduk miskin Indonesia hanya sebesar 18,7 persen. Ini artinya, GK sebesar Rp 318.750 jauh dari setara dengan 1,25 dollar PPP.

****

Kejanggalan kedua terdapat pada redaksi berikut

“Jumlah penduduk miskin di Indonesia… bertambah dibanding lima tahun lalu. Ini mungkin disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) dan atau disebabkan semakin luasnya kesenjangan sosial,” kata studi yang dilakukan ADB itu.

Saya ragu kalau kutipan di atas meruapakn hasil studi yang dilakukan ADB. Karena, jika demikian, hasil studi ADB akan sangat bertentangan dengan data kemiskinan yang dimiliki oleh BPS dan Bank Dunia. Berdasarkan data kedua institusi ini, selama lima tahun terkahir perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia justru sebaliknya, yakni secara umum menunjukkan tren yang menurun. Jika Anda tidak percaya, silahkan kunjungi tautun berikut http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.DDAY. dan http://data.worldbank.org/country/indonesia

Hasil studi ADB tidak akan mungkin berseberangan dengan data-data kemiskinan BPS dan Bank Dunia. Karena untuk menghitung angka kemiskinan makro yang dapat dipercaya kevalidannya, ADB memerlukan basis data pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dan untuk Indonesia, satu-satunya basis data konsumsi rumah tangga yang ada adalah data SUSENAS yang dihasilkan oleh BPS, yang juga digunakan oleh Bank Dunia ketika menghitung angka kemiskinan di Indonesia.

Indikator kemiskinan makro yang secara internasional umum digunakan adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) index. FGT index memiliki 3 ukuran kemiskinan, yakni persentase penduduk miskin (P0), tingkat kedalaman kemiskinan (P1) yang menggambarkan rata-rata selisih pengeluaran penduduk miskin terhadap GK, dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang menggambarkan ketimpangan distribusi pendapatan penduduk miskin. Kemungkinan yang diamaksudkan oleh ADB dalam laporannya adalah perkembangan tingkat kedalaman dan atau tingkat keparahan kemiskinan saat ini yang semakin memburuk dibanding lima tahun yang lalu, bukan persentase atau jumlah penduduk miskin yang bertambah.

****

Kekeliruan yang terjadi pada pemberitaan di KOMPAS.com menunjukkan bahwa kehati-hatian dan kecermatan ketika menggunakan dan melaporkan angka-angka statistik adalah soal yang amat penting. Kerena, interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru akan mengahsilkan pemahaman yang bias dan menyesatkan.

Interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru memang sering terjadi pada kalangan elite negeri ini. Salah satunya, para tokoh lintas agama yang menuduh pemerintah berbohong kepada publik soal data kemiskinan. Oleh mereka, pemerintah dianggap berbohong karena data jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk penerima beras miskin (raskin) yang mencapai 70 juta orang.

Tuduhan di atas sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin, sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin.

Sumber:Kompasiana.com

Bab 7 Pengembangan Sosial

Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

Penerapan teknologi maju

Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)

Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran. Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.

Peraturan dan perundang-undangan

Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.

Pendidikan

Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).

Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.

Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.