Kamis, 17 Maret 2011

Pandangan Hidup Orang Sunda (Manusia dan Pandangan Hidup)

Dalam Ensiklopedi Sunda (2000) disebutkan bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terbagi kepada tiga bagian. Bagian pertama tecermin dalam tradisi lisan dan sastra Sunda yang berasal dari kalangan lapisan atas (elite). Penelitian yang dilakukan oleh Soewarsih Warnaen dkk. (1987) ini meneliti, 79 ungkapan dalam bahasa Sunda dan 20 dalam bahasa Cirebon, Carita Pantun Lutung Kasarung edisi F. F. Eringa dalam disertasinya, (1949), naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Sawer Panganten dan dua roman R. Memed Sastradiprawira yaitu Mantri Jero (1928), dan Pangeran Kornel (1930).

Hasilnya disimpulkan bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terdiri atas: (1) manusia sebagai pribadi; (2) manusia dengan masyarakat; (3) manusia dengan alam; (4) manusia dengan Tuhan; dan (5) manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan batin. Penelitian ini sampai pada adanya dua pandangan, yaitu yang pertama, pandangan yang membagi manusia menjadi dua golongan ialah golongan penguasa dan golongan rakyat, sedangkan yang kedua, tidak membedakan apakah seseorang itu termasuk penguasa ataukah bukan sehingga berlaku umum.

Pada penelitian kedua, pandangan hidup orang Sunda tecermin dalam tradisi lisan dan sastra Sunda. Penelitian berikutnya, yang berarti tahap kedua, dilakukan oleh Suwarsih Warnaen dkk. (Bandung, 1987). Berlainan dengan penelitian pertama yang terutama dipusatkan kepada tradisi lisan dan karya sastra yang berasal dari kalangan lapisan atas (elite), penelitian ini mengambil bahan lisan dan karya lapisan bawah (somahan), yaitu yang berupa uga, adat-istiadat, cerita rakyat (yang sudah dibukukan) dan tiga buah novel (Rasiah Nu Goreng Patut karya Yuhana, Lain Eta karya Moh. Ambiri dan Mayit Dina Dahan Jengkol karya Ahmad Bakri).

Dari analisis terhadap bahan-bahan yang diteliti itu dapat diidentifikasikan sejumlah sifat khas yang dianggap baik dan tidak baik oleh orang Sunda. Semuanya digolongkan kepada empat kategori besar, yaitu (1) akal; (2) budi; (3) semangat; dan (4) tingkah laku.

Dalam kategori akal yang dianggap baik ialah sifat-sifat pintar, pandai, cerdas, cerdik, arif, berpengalaman luas, dan menjunjung tinggi kebenaran, sedangkan yang tidak baik adalah bodoh, banyak bingung, suka bohong, membenarkan yang bohong, pandai membohongi orang, dan terlalu benar (dalam pengertian tidak surti). Dalam kategori budi ada 31 macam sifat yang baik, antara lain jujur, suci, punya pendirian, takwa, tidak takabur, siger tengah (tidak ekstrem), bageur(orang baik), bijaksana, berjiwa kerakyatan, punya rasa malu, taat pada orang tua, punya harga diri, setia, bisa dipercaya, dll. Sementara sifat yang tidak baik antara lain, pendendam, tidak berperasaan, tidak punya rasa malu, tidak tahu berterima kasih, dan takabur.

Dalam kategori semangat, sifat yang dipandang baik ada 18 macam, antara lain punya idealisme, sabar, percaya kepada takdir, tabah, punya semangat belajar, mau berikhtiar, rajin, lebih baik mati daripada hidup hina, berani, bersifat satria, ulet, tahan godaan, khusuk dalam berdoa, sedangkan yang dianggap tidak baik, antara lain merasa tidak berdaya, menyiksa diri sendiri, pengecut, penakut, serakah, dan menyalahgunakan kedudukan.

Dalam kategori tingkah laku, sifat yang dianggap baik ada 38 macam, antara lain, sederhana, matang perhitungan, suka menolong, sopan, waspada, teliti, tahu diri, ramah, tidak licik, menepati janji, hemat, tidak banyak bicara, punya keterampilan, dan lain-lain. Sementara sifat yang tidak baik ada 59 macam, antara lain, suka menonjolkan diri, sombong, berpakaian berlebihan, malas, tidak mau berusaha, suka bertengkar, suka mencuri, dengki, menipu, licik, pencemburu, dijajah materi, cerewet, bicara sembarangan, usilan terhadap orang lain, suka menasihati orang lain, tidak menghargai orang lain, selingkuh, boros, dan lain-lain.

Peneliti pun mengidentifikasikan pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan masyarakat (pergaulan antarjenis, pergaulan dalam lingkungan keluarga dalam masyarakat luas). Tentang hubungan manusia dengan alam (alam nyata, dan alam gaib) diidentifikasikan bahwa orang Sunda memandang lingkungan hidupnya bukan sebagai sesuatu yang harus ditundukkan, melainkan harus dihormati, diakrabi, dipelihara, dan dirawat. Sementara tentang manusia dengan Tuhan (menurut uga dan menurut adat istiadat) dapat diidentifikasikan bahwa meskipun sekarang umumnya memeluk agama Islam, masih banyak kepercayaan pra-Islam yang masih menjadi pegangan walaupun hasil analisis data menyimpulkan bahwa orang Sunda amat mengakui akan kekuasaan Tuhan.

Pada penelitian ketiga, pandangan hidup orang Sunda tercermin dalam kehidupan masyarakat Sunda dewasa ini. Penelitian tahap ketiga ini dilakukan oleh Yus Rusyana dkk. (Bandung, 1989). Berlainan dengan dua penelitian sebelumnya, penelitian tahap ketiga ini dilakukan dengan mengadakan kuesioner terhadap orang Sunda di enam wilayah, yaitu 4 wilayah pedesaan (Sukabumi, Sumedang, Garut dan Tasikmalaya) dan 3 wilayah kota (Cianjur, Sumedang, Bandung). Pertanyaan yang diajukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya berkenaan dengan pandangan orang Sunda mengenai, (1) manusia sebagai pribadi, (2) manusia dengan Tuhan; (3) manusia dengan alam; dan (4) tentang mengejar kemajuan lahir dan kepuasaan batin.

Untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran atau tidak terhadapnya, hasil angket itu ternyata menunjukkan bahwa pada umumnya terjadi pergeseran dalam setiap aspek yang ditanyakan. Akan tetapi tidak terjadi perubahan yang besar. Pandangan hidup berkenaan dengan manusia sebagai pribadi, dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan batin, dapat dikatakan tetap. Perubahan terjadi pada aspek manusia dengan alam dan manusia dengan masyarakat, tetapi itu pun tidak sama dalam semua hal, tergantung wilayah dan aspeknya. Tak tampak perbedaan yang mencolok antara pandangan hidup orang Sunda dewasa ini. Dengan tetap berakar pada tradisinya, telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan itu, perubahan mengarah kepada pandangan yang lebih waspada, lebih bertauhid dalam beragama, lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam (Ensiklopedi Sunda, 2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar