Kamis, 29 Desember 2011

Tulisan Bab 1 Penduduk, Masyarakat dan kebudayaan

Defenisi dan metode pengukuran kemiskinan

Sebelum membahas kejanggalan yang saya maksudkan, sangat penting bagi kita memahami terlebih dahulu defenisi kemiskinan dan bagaimana angka-angka kemiskinan itu diperoleh.

Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Karenanya, hingga saat ini tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang ingin diukur dapat dikuantifikasi.

Salah satu konsep pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Di Indonesia, pengukuran kemiskinan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun di bulan Maret. Dengan demikian, angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya adalah kondisi Maret, setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena kemiskinan pada dasarnya bersifat dinamis.

Dalam prakteknya, pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan garis kemiskinan (GK) atau batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (setara dengan 2.100 kkal per hari) dan non-makanan (sandang, pangan, perumahan, dan kesehatan).

Untuk menghitung GK dan jumlah penduduk miskin, BPS melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Karena didasarkan pada data survei angka kemiskinan yang dihasilkan adalah estimasi atau perkiraan.

Bank Dunia juga menggunakan data ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Konsep yang digunakan oleh Bank Dunia pada dasarnya sama dengan yang digunakan oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah GK yang digunakan. GK yang digunakan oleh Bank Dunia dalam dollar PPP (purchasing power parity/paritas daya beli). Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan, yakni 1,25 dollar dan 2 dollar. Dollar PPP atau biasa disebut dollar internasional tidak sama dengan dollar currency (dollar AS). Jika dirupiahkan, nilai dollar PPP selalu lebih rendah dibanding dollar AS. Penjelasan mengenai dollar PPP dapat Anda baca pada tautan berikut http://en.wikipedia.org/wiki/Geary%E2%80%93Khamis_dollar

Penggunaan GK dalam dollar PPP oleh Bank Dunia erat kaitannya dengan evaluasi pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs), yang salah satu sasarannya adalah mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015. Karena Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat diperbandingkan) antar negara, maka digunakanlah GK dalam dollar internasional atau dollar PPP.

Kesamaan konsep dan sumber data yang digunakan BPS dan Bank Dunia dalam pengukuran kemiskinan mengakibatkan pergerakan angka kemiskinan hasil hitung-hitungan Bank Dunia selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS−walaupun jumlah atau persentase penduduk miskinnya berbeda. Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia juga akan menunjukkan hal yang sama.

****

Kekeliruan KOMPAS.com

Sebagaimana telah saya nyatakan sebelumnya, ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi dari pemberitaan KOMPAS.Com yang bertajuk ADB: Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”. Kejanggalan pertama terdapat pada redaksi berikut

Untuk diketahui, standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di bawah 1,25 dollar AS per hari (sekitar Rp 10.625).

Sebelumnya, telah saya sebutkan bahwa GK yang digunakan Bank Dunia adalah dalam dollar PPP bukan dollar currency (dollar AS). Kalimat di atas jelas keliru, karena GK yang digunakan oleh ADB seharusnya adalah 1,25 dollar PPP bukan 1,25 dollar AS. Jika Anda membaca publikasi ADB terbaru yang berjudul “ KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE PASIFIC 2011”, pada halaman 147 Anda akan menemukan kalau GK yang digunakan oleh ADB dalam dollar PPP bukan dollar AS. Dan memang seperti itulah seharusnya, karena GK internasional ditujukan untuk komparasi antar negara. Jika menggunakan dollar AS, syarat perbandingan aple to aple tidak terpenuhi karena daya beli (purchasing power) dollar AS tidak sama pada setiap negera.

Sebagai ilustrasi, untuk membandingkan kinerja perekonomian antar negara, Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional lainnya, tremasuk ADB, selalu menggunakan Gorss Domestic Product (GDP) dalam dollar PPP dan GDP dalam dollar AS. Menurut data Bank Dunia, pada tahun 2010, GDP PPP (current price international $) Indonesia mencapai 1.029,79 juta dollar PPP, dan jika menggunakan dollar AS (current price US$) GDP Indonesia mencapai 706,56 juta dollar AS. Sementara itu, berdasarkan data BPS, GDP Indonesia atas dasar harga berlaku (current price) pada tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun. Jika dicermati, di sini nampak jelas bahwa dollar PPP memang berbeda dengan dollar AS.

Berdasarkan angka-angka GDP Indonesia dalam dollar PPP dan dollar AS versi Bank Dunia, serta versi BPS (dalam rupiah), jika dilakukan konversi ke dalam rupiah, pada tahun 2010, 1 dollar PPP setara dengan sekitar Rp 6.255, sedangkan 1 dollar AS setara dengan sekitar Rp 9.075 (kurs dollar saat itu). Di sini terlihat jelas jika dirupiahkan, nilai 1 dollar PPP jauh lebih rendah dari 1 dollar AS.

Dengan demikian, jika dirupiahkan, garis kemiskinan ADB sebesar 1,25 dollar PPP bukan sekitar Rp 10.625, karena nominal ini diperoleh melalui hasil perkalian 1,25 dollar dengan kurs rupiah terhadap dollar saat ini. Dan menurut saya hal ini adalah murni kekeliruan KOMPAS.Com dalam memberitakan laporan ADB (AFP). Saya yakin, baik ADB maupun AFP sama sekali tidak menyebutkan bahwa GK yang digunakan adalah dalam dollar AS.

Konversi GK yang keliru ini, ternyata dikutip oleh seorang kompasianer dalam tulisannya yang berjudul “Puluhan Triliun Rupiah Jelang Lebaran, Jurang Pun Makin Lebar “. Bahkan, dalam tulisan tersebut, penulis telah maju selangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa GK yang digunakan ADB sebesar Rp 318.750 per bulan. Angka ini diperoleh setelah mengalikan Rp 10.625 dengan 30, karena penulis berasumsi jumlah rata-rata hari dalam sebulan adalah 30 hari.

Orang yang tidak paham seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tidak akan melihat hal ini sebagai kekeliruan yang vatal, bahkan mungkin akan mengamini isi tulisan tersebut. Dan inilah yang terjadi pada admin Kompasiana ketika menjadikan tulisan tersebut sebagai headline beberapa waktu yang lalu. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tentu tahu bahwa kekeliruan seperti ini sangat vatal.

Sepintas, perbedaan antara Rp 233.740 (GK BPS) dengan Rp 318.750 memang tidak terlalu jauh. Tetapi implikasinya terhadap angka kemiskinan yang dihasilkan akan sangat berbeda. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin dan hampir miskin Indonesia, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 280.488, mencapai 57,14 juta orang atau sekitar 24 persen dari total populasi Indonesia. Dengan melihat angka ini, proporsi penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 318.750 tentu akan lebih besar lagi−kemungkinan di atas 30 persen dari total populasi−padahal, pada tahun 2009 saja, berdasarkan data Bank Dunia, jika menggunakan GK sebesar 1,25 dollar PPP, proporsi penduduk miskin Indonesia hanya sebesar 18,7 persen. Ini artinya, GK sebesar Rp 318.750 jauh dari setara dengan 1,25 dollar PPP.

****

Kejanggalan kedua terdapat pada redaksi berikut

“Jumlah penduduk miskin di Indonesia… bertambah dibanding lima tahun lalu. Ini mungkin disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) dan atau disebabkan semakin luasnya kesenjangan sosial,” kata studi yang dilakukan ADB itu.

Saya ragu kalau kutipan di atas meruapakn hasil studi yang dilakukan ADB. Karena, jika demikian, hasil studi ADB akan sangat bertentangan dengan data kemiskinan yang dimiliki oleh BPS dan Bank Dunia. Berdasarkan data kedua institusi ini, selama lima tahun terkahir perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia justru sebaliknya, yakni secara umum menunjukkan tren yang menurun. Jika Anda tidak percaya, silahkan kunjungi tautun berikut http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.DDAY. dan http://data.worldbank.org/country/indonesia

Hasil studi ADB tidak akan mungkin berseberangan dengan data-data kemiskinan BPS dan Bank Dunia. Karena untuk menghitung angka kemiskinan makro yang dapat dipercaya kevalidannya, ADB memerlukan basis data pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dan untuk Indonesia, satu-satunya basis data konsumsi rumah tangga yang ada adalah data SUSENAS yang dihasilkan oleh BPS, yang juga digunakan oleh Bank Dunia ketika menghitung angka kemiskinan di Indonesia.

Indikator kemiskinan makro yang secara internasional umum digunakan adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) index. FGT index memiliki 3 ukuran kemiskinan, yakni persentase penduduk miskin (P0), tingkat kedalaman kemiskinan (P1) yang menggambarkan rata-rata selisih pengeluaran penduduk miskin terhadap GK, dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang menggambarkan ketimpangan distribusi pendapatan penduduk miskin. Kemungkinan yang diamaksudkan oleh ADB dalam laporannya adalah perkembangan tingkat kedalaman dan atau tingkat keparahan kemiskinan saat ini yang semakin memburuk dibanding lima tahun yang lalu, bukan persentase atau jumlah penduduk miskin yang bertambah.

****

Kekeliruan yang terjadi pada pemberitaan di KOMPAS.com menunjukkan bahwa kehati-hatian dan kecermatan ketika menggunakan dan melaporkan angka-angka statistik adalah soal yang amat penting. Kerena, interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru akan mengahsilkan pemahaman yang bias dan menyesatkan.

Interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru memang sering terjadi pada kalangan elite negeri ini. Salah satunya, para tokoh lintas agama yang menuduh pemerintah berbohong kepada publik soal data kemiskinan. Oleh mereka, pemerintah dianggap berbohong karena data jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk penerima beras miskin (raskin) yang mencapai 70 juta orang.

Tuduhan di atas sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin, sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin.

Sumber:Kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar